31 Maret 2009

Pariwisata vs. Subak di Bali

Nahda Kanara

Ciputat, 1 April 2009

Seharusnya ada korelasi yang baik antara kedua sistem diatas, tapi membaca halaman muka Kompas, 31 Maret 2009 kemarin (buka: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/31/03133512/perkembangan.wisata.unik.tradisi) dan 1 April 2010 hari ini (buka: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/04/01/02422649/bali.kembali.ke.kebijakan.satu.pintu), membuat aku miris, padahal hal serupa pernah juga di muat di kompas 5 tahun lalu (buka : http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0408/19/daerah/1213010.htm).

Saat kuliah Pembangunan Masyarakat Pedesaan, dosen memberikan contoh ‘subak’ sebagai sistem yang paling sesuai. Subak (organisasi petani bali) merupakan salah satu organisasi tradisional Bali yang memelihara dan mengatur sistem irigasi pertanian yang sudah ada sejak dulu. Sistem ini dipimpin oleh ketua (pekaseh) yang mengatur jalannya organisasi dan mediator antara petani dan pemerintah.

Subak berdiri sendiri terlepas dari struktur desa atau banjar, jadi angguta subak tidak harus berasal dari desa yang sama tapi memiliki lahan pertanian di daerah tertentu. Hal tersebut dikarenakan oleh kepentingan pengairan lahan mereka. Satu subak menerima air dari sumber air yang sama. Pembagian air ini diatur sedemikian rupa sehingga seluruh lahan menerima air dalam porsi yang adil.

Elemen adat dan agama sangat berperan di organisasi ini. Itulah yang membuat sistem ini kokoh. Untuk menyatakan sembah baktinya kepada Ida Sanghyang Widhi karena dilimpahkannya panen, dijauhkan dari hama dan diberikan air sepanjang tahun maka krama subak mendirikan tempat pemujaan yang diberi nama pura subak.

Menurut pak dosen, Subak merupakan kearifan lokal di Bali. Kearifan lokal tersebut memiliki sifat dasar sosio-kultural maupun sosio-religius yang unik dan unggul. Kearifan lokal dalam organisasi subak berbasis konsepsi Tri Hita Karana dan mendapat apresiasi unirversal terkait kosmos, theos, antropos, dan logos, yakni hubungan yang serasi dan harmonis sesama umat manusia, lingkungan dan Tuhan yang Maha Esa. Konsep tersebut selaras dengan konsep pariwisata Bali yaitu konsep pariwisata budaya dan agama. Sayangnya subak terjegal dengan perkembangan pariwisata bali di luar konsep yang dirumuskan.

Permasalahannya bukan hanya di bidang pariwisata Bali yang mulai kehilangan jati diri dan membuat pelancong lama-lama jenuh, tapi juga di bidang pertanian. Banyak sawah yang mulai kekurangan air. Bagaimana hasil akan optimal jika ketersediaan air berkurang. Mirisnya, penyebab tersebut bukan kemarau panjang tapi pembangunan penginapan atau penutupan sungai untuk rafting. Penanaman padi di Bali mulai berkurang karena kekurang tersediaan atau ketidakemerataan air. Petani akan menanam tanaman lain yang tidak butuh banyak air. Varietas lokal berkurang dibudidayakan petani dan swasembada beras akan sulit dicapai.

Semoga, kekokohan kearifan lokal ini jangan sampai terkikis karena uang semata…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar